Thursday, 6 July 2017

Ego Dalam Pandangan Islam

Membiarkan  ego tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang mengatur kehidupan tentu sangat membahayakan kehidupan beragama bahkan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan mereka, dalam Hindu dan Budha, ego mesti ditekan dan kalau bisa dihilangkan. Namun dalam Islam, keberadaan ego tetap diakui, namun dijaga dan diatur sehingga tidak berkembang menjadi Illah bagi manusia. Seorang Muslim harus sadar dengan keberadaan dirinya di tengah realitas. Namun keberadaanya hanya ada karena Allah yang menciptakan dirinya. Di hadapan Allah, ia adalah makhluk hina yang senantiasa menyungkurkan muka ke tanah sebagai bukti kerendahan dan pengabdian. Ia adalah makhluk yang dibuat dari setetes air hina…bukanlah apa-apa, tidak ada yang dimilikinya selain kelemahan dan ketidakmampuan.

Manusia memang diciptakan lebih mulia dari makhluk lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, namun itu dimaksudkan untuk menolak alasan mempertuhankan makhluk lainnya. Sehingga dapat dibayangkan betapa jahilnya orang yang mepertuhankan batu, pohon, matahari, uang dan segala makhluk lainnya, karena sebenarnya manusia jauh lebih mulia dari itu semua.  Di tengah sesamanya, semua manusia sederajat, tidak ada sedikitpun kelebihan satu sama lain kecuali karena ketakwaannya kepada Allah. Pemuliaan dan penghormatan diri dalam konteks ketakwaan adalah menjaga diri dari perbuatan hina yang merendahkan derajat kemanusiaanya. Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, “Seorang yang memahami dan merasakan kemuliaan dirinya akan menilai syahwat tidak berharga di hadapannya”.

Bila manusia harus mempunyai alasan untuk setiap aktivitasnya, maka perbuatan dan tindakan untuk pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri juga adalah fitrah bagi manusia. Dalam Islam, aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya dilakukan dalam kerangka ketaatan kepadaNya. Ia harus meyakini bahwa dirinya akan menghadapi Hari Pengadilan kelak. Manusia telah diberi panduan oleh Tuhannya untuk membedakan perbuatan mana yang harus, boleh, dan tidak boleh dilakukannya beserta konsekwensinya masing-masing. Dengan begitu, ia akan menyadari dan bertanggung jawab sepenuhnya atas segala tindakan yang dilakukannya.

Keberadaan ego dalam kehidupan seorang Muslim benar-benar harus diperhatikan dan diawasi. Seringkali seorang Muslim memenangkan pertempurannya dengan Syaithan yang membisiki perbuatan mungkar atau mempertuhankan makhluk lainnya. Namun ia kalah atas dirinya sendiri, sebagaimana yang dikatakan Rumi, berhala yang paling besar adalah berhala dirinya sendiri. Ego yang berkembang menjadi hijab yang menghalangi dia dengan Tuhannya akan menyebabkan seorang tidak akan mampu untuk memberikan pengabdian sepenuhnya apalagi tenggelam dalam kecintaan kepadaNya.    

Ego yang berkembang tak terkendali akan menyebabkan berbagai penyakit hati. Bahkan boleh dikatakan bahwa ego adalah nenek moyang segala penyakit tersebut. Dari melihat dan menilai diri secara berlebihan, timbulah sifat ujub (membagakan diri) dan kibir (sombong). Merasa lebih dari yang lain; merasa lebih benar, lebih kaya, lebih pintar, lebih baik, lebih berkuasa dan segala kelebihan lainnya. Seorang yang membanggakan dirinya membuat ia menjadi sombong. Dan bila penyakit ini telah bercokol di hati, menerima nasihat orang lain akan dianggap sebagai merendahkan kredibilitasnya, dan untuk mengangkat dirinya ia harus merendahkan orang lain, sebagaimana sabda Rosulullah, “Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan manusia..” (H.R. Muslim). 

Dari usaha merendahkan orang lain, maka timbul sifat iri dan dengki.  Untuk itu, maka seorang Muslim hendaknya tawadu dalam bergaul. Sifat tawadu merupakan obat penyakit hati tersebut. Namun harus diingat bahwa obat ini pun jangan sampai tercemar penyakit membahayakan ini. Syaikh Ahmad Atailah mengatakan bahwa tempat tawadu adalah hati, merasa diri tawadu merupakan sifat ujub apalagi bila dipamerkan di hadapan makhluk, maka timbulah penyakit komplikasi lain; riya[4].

Islam sebagai sebuah way of life tentu tidak lepas peranannya di dalam kelompok sosial. Kaum Muslimin sebagai sebuah masyarakat Islam juga harus menyadari dan mengekspresikan eksistensi mereka di tengah-tengah kaum lainnya. Pada masa Rosulullah, Nabi SAW dan para sahabatnya membedakan dirinya dari Ahlul Kitab dan Musyrikin dengan memberikan ciri-ciri yang khas seperti memelihara janggut dan mencukur kumis. Pembedaan ini mempunyai maksud sebagai syiar[5]. Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an bahwa umat Muslimin adalah umat yang terbaik, namun kemuliaan mereka adalah karena keimanan dan amar ma’ruf nahi munkar yang mereka lakukan[6], bukan semata-mata pemberian Tuhan dan menganggap umat lain sebagai budak seperti yang selama ini diyakini Yahudi. Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku adil terhadap non Muslim. Islam adalah rahmatan lil aalamin, bukan rahmat yang diperuntukan bagi pengikutnya saja, melainkan rahmat bagi semesta alam. Bila ego adalah pembatasan bagi individu, keluarga atau kelompok sendiri, maka dalam Islam batas tersebut diperluas hingga bagi semesta alam.

Namun, Kemuliaan diri (izzah) harus tetap harus dimiliki kaum Muslimin. Allah berfirman, Kemuliaan hanyalah milik Allah, RasulNya dan orang beriman. Orang Mukmin harus selalu memperhatikan kemuliaaannya dengan selalu menjaga tetap berjalan di atas garis yang telah ditetapkan Allah dan RosulNya. Bahkan walau untuk itu ia harus merelakan hidupnya. Karena mati dengan terhormat lebih baik daripada hidup menjadi hamba orang lain.  

Allah berfirman, Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. Ali Imran:130). 

Wallahu a’lam

No comments: